Rabu, 15 Februari 2012

Belajar Bersyukur dari Alam

Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya orang yang gampang menangis, tetapi kalau saya ingat2 lagi kayaknya saya bisa katakan kalau saya mudah sekali menangis.

Beberapa hari yang lalu saya tidak tahu kenapa, tapi tiba2 saja saya ingin menangis, maka menangislah saya di balkon kamar lantai dua rumah nenek saya. Penyebabnya barangkali kejadian sebelumnya yang membuat air mata tidak bisa ditahan.

Anyway, saya pokoknya mau menangis, jadi sepulang dari ATM, saya duduk di balkon dengan langit - langit plafont tua yang nampak ternoda oleh bocoran air, kebetulan angin bertiup semilir, enak sekali buat tidur. Tapi saya tidak mungkin tidur sementara air mata saya mengalir terus. Dalam keadaan sedih seperti itu saya teringat ayah yang masih merantau dan memiliki istri kedua di Kalimantan, mamak yang sangat lelah tentunya (semoga beliau tetap sehat) merawat adik  yang tengah berjuang merebut kesejahteraannya dengan hidup irit dan berkompetisi seperti saya mendapatkan hidup yang lebih layak. Saya merasa sebagai orang yang paling menderita di dunia. Atau tepatnya saya bukan orang yang bersyukur dengan nikmat-Nya ? Tiba-tiba terlihat barisan semut tepat disamping tempat duduk saya, dengan asiknya mereka berputar-putar menari, mengkukur-ukur lantai mencari makan. Pemandangan ini menyadarkan saya akan ayat Allah bahwa sekecil apa pun makhlukNya, Allah telah mengatur rizki mereka dengan baik di bumi dan di langit. Maka kembali saya menangis, karena setelah saya pikir2 saya sebenarnya masih sangat kaya dibandingkan saudara2 saya yang tidak punya rumah, atau mereka yang belum makan hari ini, atau mereka yang terbaring sakit tanpa bisa berobat. SAYA SANGAT KAYA, Ya ALLAH. Astaghfirullah...Maka sambil masih terisak saya lantunkan surat Al-Fatihah dan menyelami dengan sangat nikmat makna yang terkandung di dalamnya. Pun saya lantunkan salawar Nabi dan beberapa hafalan pendek yang masih menempel di kepala. Semut yang masih berkerumun di sekeliling, seperti tahu ada manusia yang tengah bersedih, atau mereka juga tentunya tahu ayat yang saya baca, karena Allah menciptakan mereka untuk bersujud kepadaNya.

Saya teringat Nenek, beliau barangkali orang pertama yang mengajarkan kami untuk menyayangi hewan dan tanaman. Nenek sering saya jumpai mengajak bicara kucing-kucing di lingkungan rumah. Dengan bahasa sederhana misalnya `Jangan nakal ya, jangan nyuri ikan lagi, nih dikasih makanan enak`, bahkan selepas shalat subuh di masjid pun nenek pasti memulai rutinitas hidup dengan menyiram tanaman (nenek punya koleksi tanaman obat dan bunga), sambil tak lupa mengucapkan `assalamu alaikum` kepada makhluk-makhluk cantik itu. Saya tidak tahu apakah beliau berdzikir pula sambil mengerjakan rutinitas itu. Barangkali dengan perlakuan itu tanaman di rumah kami tumbuh subur. Saya pun terbiasa dengan perbuatan ini

Jadi semut-semut itu pun menjadi sasaran bicara saya, saya pikir mereka datang mendekat karena mengira saya bawa makanan, maka saya katakan `maaf, ya hari ini saya tidak bawa makanan`. Saya seperti orang tidak normal barangkali, tapi seperti nenek, saya percaya makhluk itu berindera, memahami bahasa manusia, walaupun kita tidak paham bahasa mereka.Yang pasti kehadiran mereka sedikit membuat saya lega, dengan menghela nafas dalam-dalam saya tinggalkan tempat nyaman itu sambil tak lupa mengucapkan salam pada para penghibur.
Barangkali sama dengan yang lain, sesudah menangis pasti muncul kelegaan. Rasanya seperti mendaki gunung, dan ketika sampai di puncak kita seperti menjadi penguasa dunia ! Begitulah efek menangis. `menangis` juga dianggap sehat oleh para ahli kesehatan, karena dengannya kotoran berupa kesumpekan,kejengkelan bisa terobati, pun air yang mencuci mata kita ketika menangis barangkali ada efek membersihkan mata. Entahlah, tapi saya menangis lagi ketika menulis tulisan ini. Hiks...hiks....  :’)


Rabu, 01 Februari 2012

Bira Beach!! Dimana Kamu Menemukan Surga di Selatan Pulau Celebes

Apa yang Anda bayangkan bila sedang berada di spa dengan suara ombak dan aroma air laut? Pasti ingin berlama-lama rasanya. Begitu juga yang Anda rasakan jika di Tanjung Bira. 
Pasirnya yang putih dan lembut sangat menggoda. Dengan kaki telanjang pada sore yang hangat menapaki bibir pantai yang tidak jauh dari penginapan amatlah menyenangkan. Bukan hanya putih, bersih, pasir di sini sangat lembut dan mengeluarkan aroma khas pantai. Rasanya seperti  berada di sebuah salon dengan pelayanan scrubbing terbaik.

Bila di banyak pantai karang dan bebatuan kerap menganggu keluasan pandangan kita, tidak di Tanjung Bira. Seperti pagar yang tertib dan tahu diri, batu karang berjajar di sisi ujung kiri pantai, berdiri tegak, kokoh. Tata letak yang jarang kita temui seolah tahu betul bagaimana pantai ini harus memanjakan manusia. Jadilah kita hanya menjejakkan kaki di kelembutan pasir dan menghadapi laut layaknya kolam tak berbatas.
 Benar saja, rasanya pantai dengan karang di kaki umumnya tidak disukai para wisatawan. Sulit pula untuk berenang. Sungguh Pantai di ujung Sulawesi Selatan ini memberikan pesonanya sendiri.

Bila tidak ingin berlama-lama berdiri memandangi indahnya pantai, cobalah terjun ke dalam air yang jernih luar biasa, selami ayunan ombak yang tenang perlahan-lahan dan kecipak tubuh kita. Percayalah, berada di dalamnya membuat kita tidak ingin beranjak.

Aroma pantai yang sejuk, langit yang indah, biru laut dan putihnya pasir pasti menggoda siapa pun untuk mengapungkan diri mengikuti gelombang dan mata angin. Begitu pun saya. Dengan ban bekas yang disewakan saya terapung mengikuti arus.  Sayang waktu sangat cepat berlalu, hari semakin gelap. Saya pun harus beranjak meninggalkan pantai untuk membersihkan diri dan meninggalkan keasyikan tak berperi.

Tapi ada yang lupa, di mana matahari tenggelam?

Baiklah, kalau memang sunset tidak saya jumpai, besok saya akan berburu sunrise. Kelembutan sinar matahari pada dua peristiwa sehari-hari di pantai itu selalu memesona.

Alarm jam membangunkan saya pada pagi pukul 04.00 Wita. Langsung saya tenteng kamera, duduk di teras penginapan menunggu matahari mengintip kehidupan manusia di bumi. Ah, hingga pukul 06.00 tidak saya jumpai juga. Rupanya sunrise terhalang pulau. Dia muncul di balik pulau di horizon sana. Itu tentu tidak menyurutkan langkahku mengabadikan indahnya Tanjung Bira di pagi hari.

Langit biru, awan kapas yang menyembur dan terpencar, kapal-kapal nelayan yang berdatangan menjadi pemandangan pagi hari. Cakrawala di kepala jadi luas.

Semua kapal yang digunakan nelayan adalah kapal buatan sendiri, alias asli produksi Indonesia. Terang saja, Kota Bulukumba (41 km dari Tanjung Bira) adalah kota penghasil kapal pinisi terbesar dan terbaik di dunia. Jika Anda ingin ke Tanjung Bira, dari Makassar akan melewati pemandangan perajin kapal pinisi dengan berbagai ukuran. Dari ukuran penumpang 10 orang hingga ukuran raksasa berkapasitas ratusan orang.
 
Usai mengabadikan beberapa titik pantai, saya tidak ingin berlama-lama lagi untuk berendam dan bermain-main di laut. Di depan penginapan karang besar membentuk seperti tebing. Saya turun menapaki anak tangga. Lagi-lagi pasir putih di dasarnya menggoda saya untuk menyelam. Belum lagi anak-anak ikan berarak mengelilingi saya. Bermain sepak bola dengan latar laut biru yang luas bersama. Merasakan sensasi banana boat dengan harga terjangkau. Pagi yang tak akan terlupakan indahnya.

Nampak Awan Layaknya Kapas yang Terhempas :)

Banana Boat yang MUMER





Sensasi Banana Boat
Pasir Putih yang Lembut
With Spongebob...heheheh :P

And a shoot!!!

Pagi yang tak terlupakan di Tanjung Bira

Kawula Muda.... Nikmati masamu Kawan!! hahahah